Sebelum orang mengetahui bahwa bumi ini serupa bola, dengan ukuran jari-jari sekitar 6378 Km, atau keliling sekitar 40.000 Km, dan memerlukan 24 zona waktu, orang menyangka di bumi ini hari bisa sama & serentak. Mereka menyangka, kalau siang hari di Arafah (wukuf), maka di seluruh dunia juga siang hari di hari yang sama (misalnya Jum'at). Atau mereka menyangka, kalau malam Lailatul Qodar terjadi di sebuah tempat, maka di seluruh dunia juga malam yang sama.
Padahal faktanya tidak. Ketika Jum'at siang hari pukul 12 di padang Arafah, itu di Aceh sudah pukul 16, di Papua sudah Magrib malam Sabtu pukul 18, di New Zealand sudah malam Sabtu pukul 22, namun di Hawaii masih malam Jum'at pukul 23. Jadi gimana puasanya? Ya kalau mau sama-sama Jum'at, maka yang di sebelah timur Makkah (Aceh, Papua, New Zealand) akan memulai puasa sebelum wukuf di Arafah mulai, dan yang di Hawai baru akan memulai puasa setelah wukuf di Arafah selesai.
Dulu, ketika para da'i menyebarkan Islam ke seluruh dunia, mereka membawa nama hari seperti saat meninggalkan Makkah. Mereka belum menyadari, bahwa makin ke Timur, mereka akan melihat matahari lebih awal dari Makkah. Dan makin ke Barat, mereka akan melihat matahari lebih akhir dari Makkah. Kesadaran ini baru didapatkan setelah manusia menemukan alat telekomunikasi pada abad 19.
Setiap pergeseran garis meridian 15 derajat itu perbedaan waktu terbit/terbenam matahari adalah satu jam. Maka setelah berjalan 180 derajat di muka bumi, mereka sudah akan memiliki perbedaan waktu 12 jam dengan Mekkah. Kalau di Arafah Jum'at siang pukul 12, maka yang ke Timur adalah Jum'at pagi pukul 00. Dan yang ke Barat akan malam Sabtu pukul 24. Tetapi dua orang yang ke Barat dan ke Timur itu akan berada pada titik yang sama. Dan mereka akan berdebat, titik itu sebenarnya Jum'at pagi pukul 00 atau malam Sabtu pukul 24 ? Tidak mungkin satu tempat itu Jum'at sekaligus Sabtu.
Untuk menyelesaikan musykilah itu, maka dibuatlah garis tanggal internasional (GTI). Orang yang melangkah melintasi GTI dari arah barat ke timur, maka harinya harus mundur 1 hari (tadinya Sabtu jadi Jum'at). Sementara yang dari timur ke barat, harus maju 1 hari (tadinya Jum'at jadi Sabtu). Perkara ini kemudian dibawa ke kancah internasional. Terjadilah Konferensi Meridian di Washington tahun 1884, di mana wakil Khilafah Utsmani ikut menyepakati hasilnya. Agar tidak menimbulkan kesulitan sehari-hari, GTI itu ditaruh melintasi wilayah yang jarang penduduk, yaitu di Samudra Pasifik, dengan sedikit modifikasi agar tidak memotong kesatuan wilayah negeri-negeri kepulauan di sana. Karena GTI ada di sana, maka meridian 0 derajat menjadi melintasi Observatorium Greenwich di Inggris.
Suka tidak suka, keberadaan nama hari di dunia saat ini akan mengikuti GTI. Tetapi, kalender Islam, karena berpatokan pada rukyatul hilal, kalau dikalkulasi (hisab) dengan kriteria apapun, akan memunculkan Garis Tanggal Qomariyah (GTQ) yang berbeda dengan GTI. GTQ ini akan berpindah-pindah setiap bulan, dan bentuknya tidak lurus dari utara ke selatan, tetapi berupa kurva parabola. Ini artinya, kalau menyandarkan pada hisab dan rukyat lokal (matla), maka selalu ada kemungkinan 2 hari yang berbeda dalam kalender, artinya sama-sama misalnya 10 Zulhijjah akan ada yang hari Sabtu dan ada yang hari Ahad.
Adapun kalau menggunakan rukyat global, maka wilayah sebelah timur pasti akan selalu ketinggalan, karena semakin ke barat, hilal akan semakin tua dan semakin mudah dirukyat. Persoalan ini hanya akan selesai, artinya hari dalam kalender Islam hanya selalu akan konsisten/sama di seluruh dunia, kalau :
1. Ada satu otoritas (Khalifah ?) yang diikuti umat Islam seluruh dunia.
2. Khalifah itu mengadopsi pendapat fiqih yang mengijinkannya dibuat kalender dengan hisab global - misalnya dengan titik hitung Makkah. Hanya saja hisab ini harus mengacu kepada kemungkinan hilal bisa dirukyat (imkanur rukyat), bukan hisab ala astronomer jaman dulu yang hanya menghitung konjungsi (ijtima') atau wujudul hilal, karena yang ada pijakan dalil Sunnah hanya imkanur rukyat.
Wallahu a'lam bis shawab.
Prof. Dr. Fahmi Amhar
No comments:
Post a Comment