كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ

Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman). (Surah Ali `Imran: 110)

Sunday, October 5, 2014

Pengertian Ulil Amri dalam an-Nisa’ ayat 59


Kewajiban Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslimin

Apa makna ulil amri yang ada dalam surat an-Nisa’ ayat 59, yang artinya: hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian”? Para ulama telah berbeda pendapat mengenai pengertian ulil amri dalam ayat tersebut. Ibnul Jauzi menyatakan: “Mengenai ulil amri terdapat empat pendapat. Pendapat pertama, ulil amri adalah para pemimpin (umara’). Pendapat tersebut diungkapkan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas -dalam sebuah riwayat-, Zaid bin Aslam, as-Sudi dan Muqatil. Yang kedua, mereka adalah para ulama. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Thalhah dari Ibnu ‘Abbas. Ini juga merupakan pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Abu ‘Aliyah, ‘Atha’, an-Nakha’i, adl-Dlahak, Khushaif juga meriwayatkannya dari Mujahid. Yang ketiga, mereka adalah para shahabat Nabi radliyallahu ‘anhum. Ibnu Abi Najih meriwayatkannya dari Mujahid. Abu Bakar bin Abdullah al-Muzani juga berpendapat demikian. Keempat, mereka adalah Abu Bakar, Umar. Ini merupakan pendapat ‘Ikrimah.”[1]


Pendapat pertama yang menyatakan bahwa ulil amri adalah pemimpin, merupakan pendapat yang paling tepat dan relevan dengan ayat tersebut. Pasalnya, ayat ini memerintahkan kita untuk mentaati ulil amri. Dalam Bahasa Arab, mentaati (atha’a) berarti lunak (laana) dan tunduk (inqaada) kepada seseorang/pihak lain.[2] Dalam arti, segala perintah dan larangannya harus dituruti. Maka dari itu, ayat ini mengandung perintah untuk menuruti segala hal perintah dan larangan ulil amri, apapun perintah itu selama bukan berupa kemaksiatan kepada Allah.

Dalam keempat kemungkinan makna ulil amri yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi, hanya pemimpin saja yang sepenuhnya relevan dengan perintah untuk taat kepadanya. Sebab, jika ulil amri kita artikan ulama, dan ketaatan kepada mereka diartikan sebagai ketundukan kepada segala fatwa yang mereka keluarkan, maka kewajiban ini menjadi sangat sulit untuk direalisasikan. Alasannya karena pendapat para ulama mengenai hukum atas suatu masalah kadang beragam. Lantas ulama mana yang wajib ditaati oleh umat Islam jika mereka memiliki perbedaan pendapat dalam satu masalah?

Lagi pula perintah untuk taat dalam ayat ini tidak terbatas pada masalah tertentu. Ayat ini memerintahkan untuk taat kepada ulil amri. Maka meski pun seandainya kita diperintahkan untuk mengerjakan perkara yang mubah atau meninggalkan perkara yang mubah, maka perintah dan larangan tersebut wajib ditaati. Inilah yang namanya taat. Kita belum menjumpai pendapat yang menyatakan bahwa umat Islam punya kewajiban untuk menuruti segala perintah dari seorang ulama. Maka, memaknai ulil amri sebagai ulama nampaknya tidaklah tepat.

Jika ulil amri diartikan sebagai shahabat secara umum atau Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhum saja secara khusus, maka ia justru jauh lebih sulit untuk direalisasikan, atau lebih tepanya tidak mungkin dilaksanakan oleh kita yang hidup pasca zaman shahabat. Alasannya jelas, karena kita tidak pernah menjumpai mereka. Dengan demikian, jika ulil amri di sini diartikan sebagai para shahabat atau Abu Bakar dan Umar, maka ayat ini sudah tidak ada relevansinya bagi kita.

Adapun jika ulil amri kita artikan sebagai pemimpin, maka ini merupakan pilihan makna yang paling pas. Hal ini didukung oleh adanya beberapa hadits yang mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada pemimpin mereka dalam segala hal yang dia perintahkan dan dia larang, selama perintah itu boleh dilakukan dan bukan tergolong maksiat kepada Allah. Satu di antara hadits-hadits tersebut adalah:

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Artinya, umat Islam wajib taat kepada perintah para pemimpin, meski pun pada asalnya apa yang diperintahkan tersebut hanyalah mubah. Maka seandainya pemimpin kaum muslimin mewajibkan rakyatnya untuk mencatatkan pernikahan mereka ke kantor-kantor pemerintah, maka hal ini menjadi kewajiban bagi umat, karena Allah mewajibkan mereka untuk taat kepada perintah pemimpin kaum muslimin selama perintah itu bukan maksiat. Keistimewaan ini hanya diberikan oleh syara’ kepada pemimpin kaum muslimin, tidak diberikan kepada para shahabat ridlwanullah ‘alaihim maupun para ulama. Jadi jelas, makna ulil amri dalam an-Nisa 59 ini tidak lain adalah pemimpin/pemerintah. Hal ini sesuai dengan penjelasan ath-Thabari mengenai makna ulil amri dalam ayat tersebut. Wallahu a’lam

- See more at: http://www.titokpriastomo.com/pemikiran-islam/pengertian-ulil-amri-dalam-an-nisa-ayat-59.html#sthash.FgAQ8di4.dpuf

1 comment:


  1. Syaikh Abdullah Ibn Abdil Hamid al-Atsari rahimahullah menulis sebuah kitab yang berjudul “Al-Wajiz Fi Aqidati as-Salaf ash-Shalih Ahli Sunnah Wal Jama’ah”
    kitab ini telah dimuroja' ah oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh 'Abdul Muhsin bin Abdul' Aziz al-Askar, selain itu di beri muqaddimah ( Kata Sambutan) oleh Syaikh Abdullah bin 'Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin 'Abdul' Aziz Alu Syaikh, Syaikh Nashir 'Abdul Karim al-' Aql, Syaikh Muhammad bin 'Abdurrahman al-Khumais, Syaikh Su' ud bin Ibrahim Asy-Syuraim serta Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

    Dalam kitabnya beliau menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah (1/146),

    وأما من عطل منهم شرع الله ولم يحكم به و حكم بغيره، فهؤلاء خارجون عن طاعة المسلمين فلا طاعة لهم على الناس، لأنهم ضيعوا مقاصد الإمامة التى من أجلها نصبوا واستحقوا السمعة و الطاعة و عدم الخروج، و لأن الوالي ما استحق أن يكون كذالك إلا لقيامه بأمور المسلمين، و حراسة الدين و نشره، وتنفيذ الأحكام و تحصين الثغور، وجهاد من عاند الإسلام بعد الدعوة، و يوالي المسلمين و يعادي أعداء الدين، فإذا لم يحرس الدين أو لم يقم بأمور المسلمين، فقد زال عنه حق الإمامة و وجب على الأمة - متمثلة بأهل الحال و العقد الذين يرجع إليهم تقدير الأمر في ذالك - خلعه و نصب آخر ممن يقوم بتحقيق مقاصد الإمامة. فأهل السنة عندما لا يجوزون الخروج على الأئمة بمجرد الظلم و الفسق - لأن الفجور و الظلم لا يعني بتضييعهم للدين - فيقصدون الإمام الذي يحكم بشرع الله، لأن السلف الصالح لم يعرفوا إمارة لا تحافظ على الدين فهذه عندهم ليست إمارة، و إنما الإمارة هي ما أقامت الدين ثم بعد ذالك قد تكون إمارة برة أو إمارة فاجرة

    "Adapun para pemimpin yang meniadakan syari'at Allah dan tidak berhukum kepadanya serta berhukum kepada selainnya, maka mereka keluar dari hak (mendapatkan) ketaatan dari kaum muslimin.
    Tidak ada ketaatan kepada mereka dari rakyat karena mereka menyia-nyiakan fungsi imamah yang karenanya mereka dijadikan pemimpin dan berhak didengar, dipatuhi serta tidak diberontak.
    Karena pemimpin tidak berhak mendapatkan itu, kecuali karena ia menunaikan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan menyebarkannya, menjalankan hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menentang islam setelah mereka didakwahi. Mencintai kaum muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama.
    Apabila dia tidak menjaga agama atau tidak menunaikan urusan kaum muslimin, maka hilanglah hak imamah darinya dan wajib atas umat - yang diwakili oleh ahlul hal wal aqdi dimana mereka menjadi rujukan dalam menentukan masalah seperti ini - untuk memecatnya/menurunkannya dan menggantikannya dengan orang lain yang dapat merealisasikan fungsi imamah.
    Ketika Ahlus Sunnah tidak membolehkan memberontak dan melawan para pemimpin karena sekedar kezholiman dan kefasikan - karena kezholiman dan kefasikan tidak berarti mereka Menyia-nyiakan agama- maka yang mereka (Ahlus Sunnah) maksudkan dengan pemimpin disini adalah para imam/pemimpin yang berhukum dengan syari'at Allah, karena shalafus shalih tidak mengenal imarah/kepemimpinan (pemerintahan) yang tidak menjaga/menegakkan agama. Pemerintahan dengan model seperti ini (yang tidak menjaga agama dan menunaikan urusan kaum kaum muslimin) - menurut mereka (salafus shalih) - bukanlah imarah/pemerintahan. Imarah itu hanyalah yang menegakkan agama, dan ia bisa merupakan imarah yang baik ataupun imarah yang fajir." (Lihat Al-Wajiz Fi 'Aqidah As-Salaf Ash-Shalih oleh Syaekh ' Abdullah bin 'Abdul Hamid Al-Atsari, hal 133) http://kallolougii.blogspot.co.id/2018/03/makna-ulil-amri-syari.html

    ReplyDelete